oleh

Trauma Korupsi Nur Alam, Warga Sultra Tuntut Pemimpin Bersih di Pilgub 2024

KENDARI – Peneliti Senior LSI Denny JA Adjie Alfaraby mengatakan pasangan Andi Sumangerukka dan Hugua (ASR-Hugua) masih unggul dibandingkan pesaingnya untuk Pilgub Sulawesi Tenggara (Sultra).

Menurut Adjie, penelitian yang dilakukannya terekam data dukungan masyarakat sudah mencapai 35,2 persen terhadap ASR-Hagua.

Disusul Tina Nur Alam-LM Ihsan Taufik Ridwan (Tina-Ihsan) dengan dukungan sebesar 29,5 persen, kemudian pasangan Lukman Abunawas-La Ode Ida (LA-Ida) sebesar 20 persen, dan terakhir pasangan Ruksamin-LM Sjafei Kahar (Ruksamin – Sjafei) sebesar 10,7 persen. Mereka yang belum menentukan pilihan sebesar 12 persen,” ujar Adjie, Rabu (23/10).

Selain itu, Adjie mengungkapkan sebesar 94,2 persen masyarakat Sultra menyatakan sangat setuju bagi calon gubernur harus bersih dari korupsi.

Hanya 2,2 persen saja yang menyatakan tidak setuju. Adjie memaparkan, di pemilih laki-laki yang menyatakan setuju pemimpin harus bersih dari korupsi sebesar 94,1 persen, dan di pemilih perempuan, mereka menyatakan setuju sebesar 94,3 persen.

“Di pemilih Islam mereka yang menyatakan setuju pemimpin harus bebas dari korupsi sebesar 94 persen, sementara di pemilih non Islam, mereka yang menyatakan setuju sebesar 97,6 persen,” katanya.

Dari sisi pendidikan, di pemilih yang hanya lulus SD, yang menyatakan setuju pemimpin harus bersih dari isu korupsi sebesar 92 persen, sementara di kelompok terpelajar, mereka yang menyatakan setuju pemimpin harus bebas korupsi sebesar 96 persen. Di mereka yang berpendapat rendah, atau yang disebut sebagai wong cilik, yang setuju dengan pemimpin bersih sebesar 91,1 persen, dan di mereka yang berekonomi mapan yang setuju pemimpin harus bersih dari korupsi sebesar 96,8 persen.

“Di segmen ekonomi menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat perekonomian, semakin pula persetujuan mereka bahwa pemimpin itu harus bersih dari korupsi,” katanya.

LSI menemukan ada tiga alasan kriteria pemimpin yang bersih dan bebas dari korupsi menjadi pilihan masyarakat.

Alasan Pertama, sebagian besar menilai bahwa kondisi ekonomi mereka tidak membaik. Mereka yang menyatakan kondisi ekonomi mereka memburuk atau stagnan totalnya sebesar 61,9 persen.

Hanya sebesar 38 persen saja yang merasakan kondisi ekonominya membaik. Memburuknya kondisi ekonomi membuat masyarakat Sultra akan semakin memilih dalam memilih pemimpinnya. Berharap pemimpin baru bisa memperbaiki perekonomian.

Selain itu, alasan kedua, faktor korupsi dinilai sebagai faktor utama perekonomian tidak membaik. Sebesar 35,5 persen menyatakan banyaknya korupsi di pemerintahan sebagai alasan utama mengapa kondisi ekonomi mereka tidak membaik. Selanjutnya menurut Adjie, ada juga yang menyalahkan komitmen pemerintah dalam memenuhi janjinya yaitu sebesar 24,5 persen.

“Mereka menyalahkan karena alasan kondisi ekonomi nasional juga memburuk sebesar 15,2 persen. Dan sebesar 7,8 persen menyatakan karena memang pemerintah tidak peduli terhadap ekonomi masyarakat,” kata Adjie.

Alasan Ketiga, traumanya masyarakat Sultra atas kasus korupsi gubernur sebelumnya. Data survei menunjukkan bahwa sebesar 61,8 persen masyarakat Sultra mengetahui bahwa Gubernur Sultra sebelumnya yaitu Nur Alam, pernah terjadi kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp4.3 triliun.

Kemudian dari mereka yang mengetahui kasus tersebut, sebanyak 94,1 persen mengetahui Gubernur Nur Alam pernah dipenjara karena kasus tersebut. “Dengan kasus korupsi yang pernah menimpa Gubernur Sultra sebelumnya, keinginan untuk calon gubernur yang bersih dari korupsi juga menjulang tinggi,” ungkapnya.

Survei LSI Denny JA dilakukan pada 8-17 Oktober 2024, dengan 800 responden. LSI Denny JA melakukan survei tatap muka (wawancara tatap muka) dengan menggunakan kuesioner kepada responden di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Sementara itu, margin of error survei ini sebesar 3,5 persen.

Sekedar diketahui, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara non aktif, Nur Alam, akhirnya divonis 12 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 28 Maret 2018 lalu. Nur Alam juga diharuskan membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar dan mencabut hak politik selama 5 tahun setelah menjalani masa hukumannya.

Nur Alam didakwa atas kasus korupsi penerbitan izin usaha pertambangan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), yaitu menerima gratifikasi yang dapat dikatakan suap Rp 40,2 miliar dari PT Richcorp Ltd, menyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya dengan tujuan menguntungkan dirinya sebesar Rp 2,7 triliun dan PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 triliun, serta mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 4,3 triliun yang berasal dari kerusakan lingkungan Rp 2,7 triliun dan kerugian negara Rp 1,5 triliun.

Oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Nur Alam, didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Jpnn)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *